Jakarta, Patah hati atau sakit hati sebenarnya hanya kiasan yang menggambarkan bahwa perasaan sedang terluka, entah karena putus cinta atau ditinggal oleh orang yang disayang. Patah hati memang manusiawi, namun sebaiknya jangan kelamaan bersedih karena orang bisa mati karena patah hati.
Sakit hati memang hanya kiasan karena yang sebenarnya sakit bukanlah organ hati (liver) melainkan perasaan. Namun masalah emosi ini ternyata juga dapat mempengaruhi kesehatan fisik, bahkan bisa menyebabkan kematian.
Sebuah perpisahan yang traumatis, seperti putus cinta atau mengalami kematian orang yang dicintai, dapat menimbulkan pelepasan hormon stres yang dapat memicu serangan jantung, pada orang yang rentan.
Hormon stres juga dapat mendorong aritmia yang mengancam jiwa atau menyebabkan sindrom yang meniru serangan jantung pada orang dengan jantung sehat sekalipun, atau yang dikenal dengan 'Sindrom Patah Hati'.
Mengapa bisa begitu?
Perpisahan yang traumatis dan tiba-tiba dapat memicu pusaran aktivitas hormonal. Hormon stres seperti adrenalin dan kortisol 'banjir' di dalam aliran darah, yang dapat mempercepat denyut jantung, peningkatan tekanan darah, otot-otot tegang dan mengaktifkan sel-sel kekebalan.
Kondisi ini membuat darah mengarah dari sistem pencernaan ke otot-otot dan membuatnya lebih mudah menggumpal. Mekanisme bertahan hidup primitif yang disebut respons fight-or-flight, mempersiapkan tubuh untuk bahaya.
Jika jantung sudah mengalami aterosklerosis (pengerasan pembuluh darah), maka plak aterosklerosis bisa pecah dan membentuk bekuan darah, atau memicu irama jantung abnormal yang berbahaya.
Meski patah hati lebih banyak membuat orang depresi, namun bila ia memiliki riwayat penyakit jantung maka patah hati bisa menjadi lebih mematikan, seperti dilansir health.harvard.edu, Selasa (25/9/2012).
Selain ketegangan dan stres, terlalu lama patah hati juga dapat menyebabkan masalah kesehatan lainnya. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa patah hati dapat meningkatkan kemungkinan orang menderita penyakit jantung, kanker, depresi, alkoholisme dan bunuh diri.
Sakit hati memang hanya kiasan karena yang sebenarnya sakit bukanlah organ hati (liver) melainkan perasaan. Namun masalah emosi ini ternyata juga dapat mempengaruhi kesehatan fisik, bahkan bisa menyebabkan kematian.
Sebuah perpisahan yang traumatis, seperti putus cinta atau mengalami kematian orang yang dicintai, dapat menimbulkan pelepasan hormon stres yang dapat memicu serangan jantung, pada orang yang rentan.
Hormon stres juga dapat mendorong aritmia yang mengancam jiwa atau menyebabkan sindrom yang meniru serangan jantung pada orang dengan jantung sehat sekalipun, atau yang dikenal dengan 'Sindrom Patah Hati'.
Mengapa bisa begitu?
Perpisahan yang traumatis dan tiba-tiba dapat memicu pusaran aktivitas hormonal. Hormon stres seperti adrenalin dan kortisol 'banjir' di dalam aliran darah, yang dapat mempercepat denyut jantung, peningkatan tekanan darah, otot-otot tegang dan mengaktifkan sel-sel kekebalan.
Kondisi ini membuat darah mengarah dari sistem pencernaan ke otot-otot dan membuatnya lebih mudah menggumpal. Mekanisme bertahan hidup primitif yang disebut respons fight-or-flight, mempersiapkan tubuh untuk bahaya.
Jika jantung sudah mengalami aterosklerosis (pengerasan pembuluh darah), maka plak aterosklerosis bisa pecah dan membentuk bekuan darah, atau memicu irama jantung abnormal yang berbahaya.
Meski patah hati lebih banyak membuat orang depresi, namun bila ia memiliki riwayat penyakit jantung maka patah hati bisa menjadi lebih mematikan, seperti dilansir health.harvard.edu, Selasa (25/9/2012).
Selain ketegangan dan stres, terlalu lama patah hati juga dapat menyebabkan masalah kesehatan lainnya. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa patah hati dapat meningkatkan kemungkinan orang menderita penyakit jantung, kanker, depresi, alkoholisme dan bunuh diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar