Saya rasa tepat judul kali ini diberi nama Pesona Mistis Gunung Lawu karena gunung yang menjadi perbatasan antara Jatim dan Jateng ini sering dikunjungi oleh orang-2 yang melakukan ritual. Apa tujuan mereka? Spertinya pertanyaan ini lebih baik dijawab oleh para pelakunya. Pada kesempatan ini saya akan menunjukkan beberapa foto yang berhasil dihimpun menggunakan kamera HP beresolusi 1,3 megapixel dan kamera pada PDA punya Ayah. Jadi mohon dimaklumi apabila beberapa foto tidak begitu jelas.
Cemoro Sewu, itulah jalur pendakian yang saya lewati bersama Ayah, Mas Heru, Mas Gatot, dan Mas Anas. Jalur yang masih berada di wilayah Jatim ini bersebelahan dengan jalur Cemoro Kandang yang berada di wilayah Jateng.
Untuk menuju kedua tempat ini, sobat bisa menuju ke tempat pariwisata Telaga Sarangan di Magetan, Jatim apabila sobat dari arah Jatim. Sayangnya kami tidak memiliki rencana untuk mengunjungi telaga tersebut, sehingga tidak ada koleksi fotonya.
Jika sobat memang berniat untuk mendaki atau sekedar berwisata ke daerah Cemoro Sewu atau Cemoro Kandang, maka jangan lupa untuk mencicipi sate kelinci yang khas. Kedua jalur tersebut berjarak tidak lebih dari satu kilometer, dan di depan serta diantara kedua jalur tersebut sobat bisa menikmati sate hewan pemakan sayuran tersebut di warung-2 pinggir jalan sambil menikmati pemandangan yang indah dan hawa dingin pegunungan.
Foto di samping diambil dalam perjalanan menuju puncak. Terlihat beberapa teman pendaki dari tim lain juga berusaha melewati jalur yang licin ini. Di jalur Cemoro Sewu ini, jalur sudah diberi fasilitas tatanan batu untuk memudahkan orang ritual, walaupun kami para pendaki tidak begitu suka dengan jalur yang sudah dimodifikasi.
Tidak seperti jalur Cemoro Kandang yang landai tapi panjang, jalur ini bersifat pendek tapi menanjak dan membutuhkan waktu 3,5-4 jam untuk mencapai puncak Hargo Dumilah, sebutan untuk puncak Gunung Lawu.
Berhubung kami sampai di puncak malam hari, maka langsung saja saya tampilkan foto di pagi hari. Foto tersebut adalah pemandangan yang indah dan asri di sekitar puncak Gunung Lawu.
Puncak Gunung Lawu berbeda dengan puncak Gunung-gunung lain yang mengerucut, Gunung ini memiliki bentuk puncak yang panjang, sehingga sobat akan kebingungan untuk mencari daerah yang tertinggi. Untung saja ada penghuni warung yang memberitahu kita bahwa puncak berjarak 15 menit dari warung tersebut.
Tunggu, Tunggu, Warung??? Iya benar, di puncak Gunung ini kita bisa menemui warung yang menyediakan beberapa pengganjal perut. Salah satunya adalah warung milik Mbok Yem yang berlokasi paling dekat dengan puncak. Sebenarnya warung ini disediakan untuk para peziarah.
Jalur Cemoro Sewu ini memiliki beberapa keistimewaan salah satunya adalah memiliki banyak situs peninggalan kerajaan dahulu kala. Foto di atas adalah petilasan prabu Brawijaya V yang diberi nama Hargo Dalem.
Ini salah satu foto pemandangan juga yang berhasil kami jepret ketika dalam perjalanan pulang.
Kedua foto di atas adalah sumber air yang diberi nama Sendang Drajat. Jika sobat ingin melanjutkan perjalanan pulang, maka jangan lupa membawa air dari sini karena air akan kita dapatkan lagi ketika sampai di pos pendakian. Begitu juga apabila sobat mendaki, maka bawalah air dari pos karena air berikutnya akan ditemukan di sumber air ini.
Dalam perjalanan pulang, kami masih banyak menemukan situs-situs kerajaan seperti pada kedua foto di atas.
Foto-2 berikut ini kami ambil pada pendakian kedua kami. Kali ini saya berangkat bersama Ayah, Mas Heru, dan Mas Gemblung yang pernah berkenalan dan bertukar nomor HP dengan Ayah ketika bertemu di Gunung Welirang.
Foto di samping saya ambil tepat di tugu yang berada di tempat tertinggi di Gunung Lawu ini. Terlihat ada beberapa teman dari kampus UNS sedang duduk dan bercengkerama dengan kami.
Foto ini diambil ketika puncak sedang diselimuti kabut, sehingga gambar tidak terlalu jelas (alasan…ngomong saja kalau HPnya jelek he…).
Foto-foto di atas diambil ketika kami menolong salah satu pendaki yang pingsan di puncak. Yang jadi pertanyaan bagi kami, mengapa teman-2 pendaki yang pingsan tersebut tidak bisa menggotong, padahal jumlah mereka 30 orang. Di antara 30 orang tersebut terdapat beberapa tim SAR atau lebih tepat dipanggil senior dari pendaki yang pingsan tersebut.
Sepertinya kita harus berpisah dulu ya karena foto-fotonya habis nih. Maklum pada waktu awal pendakian kami masih belum tertarik tentang fotografi. Setelah mengalami banyak pendakian sampai sekarang, sepertinya kami khususnya saya tertarik dengan fotografi. Semoga saja Ayah membeli kamera
Cemoro Sewu, itulah jalur pendakian yang saya lewati bersama Ayah, Mas Heru, Mas Gatot, dan Mas Anas. Jalur yang masih berada di wilayah Jatim ini bersebelahan dengan jalur Cemoro Kandang yang berada di wilayah Jateng.
Untuk menuju kedua tempat ini, sobat bisa menuju ke tempat pariwisata Telaga Sarangan di Magetan, Jatim apabila sobat dari arah Jatim. Sayangnya kami tidak memiliki rencana untuk mengunjungi telaga tersebut, sehingga tidak ada koleksi fotonya.
Jika sobat memang berniat untuk mendaki atau sekedar berwisata ke daerah Cemoro Sewu atau Cemoro Kandang, maka jangan lupa untuk mencicipi sate kelinci yang khas. Kedua jalur tersebut berjarak tidak lebih dari satu kilometer, dan di depan serta diantara kedua jalur tersebut sobat bisa menikmati sate hewan pemakan sayuran tersebut di warung-2 pinggir jalan sambil menikmati pemandangan yang indah dan hawa dingin pegunungan.
Foto di samping diambil dalam perjalanan menuju puncak. Terlihat beberapa teman pendaki dari tim lain juga berusaha melewati jalur yang licin ini. Di jalur Cemoro Sewu ini, jalur sudah diberi fasilitas tatanan batu untuk memudahkan orang ritual, walaupun kami para pendaki tidak begitu suka dengan jalur yang sudah dimodifikasi.
Tidak seperti jalur Cemoro Kandang yang landai tapi panjang, jalur ini bersifat pendek tapi menanjak dan membutuhkan waktu 3,5-4 jam untuk mencapai puncak Hargo Dumilah, sebutan untuk puncak Gunung Lawu.
Berhubung kami sampai di puncak malam hari, maka langsung saja saya tampilkan foto di pagi hari. Foto tersebut adalah pemandangan yang indah dan asri di sekitar puncak Gunung Lawu.
Puncak Gunung Lawu berbeda dengan puncak Gunung-gunung lain yang mengerucut, Gunung ini memiliki bentuk puncak yang panjang, sehingga sobat akan kebingungan untuk mencari daerah yang tertinggi. Untung saja ada penghuni warung yang memberitahu kita bahwa puncak berjarak 15 menit dari warung tersebut.
Tunggu, Tunggu, Warung??? Iya benar, di puncak Gunung ini kita bisa menemui warung yang menyediakan beberapa pengganjal perut. Salah satunya adalah warung milik Mbok Yem yang berlokasi paling dekat dengan puncak. Sebenarnya warung ini disediakan untuk para peziarah.
Jalur Cemoro Sewu ini memiliki beberapa keistimewaan salah satunya adalah memiliki banyak situs peninggalan kerajaan dahulu kala. Foto di atas adalah petilasan prabu Brawijaya V yang diberi nama Hargo Dalem.
Ini salah satu foto pemandangan juga yang berhasil kami jepret ketika dalam perjalanan pulang.
Kedua foto di atas adalah sumber air yang diberi nama Sendang Drajat. Jika sobat ingin melanjutkan perjalanan pulang, maka jangan lupa membawa air dari sini karena air akan kita dapatkan lagi ketika sampai di pos pendakian. Begitu juga apabila sobat mendaki, maka bawalah air dari pos karena air berikutnya akan ditemukan di sumber air ini.
Dalam perjalanan pulang, kami masih banyak menemukan situs-situs kerajaan seperti pada kedua foto di atas.
Foto-2 berikut ini kami ambil pada pendakian kedua kami. Kali ini saya berangkat bersama Ayah, Mas Heru, dan Mas Gemblung yang pernah berkenalan dan bertukar nomor HP dengan Ayah ketika bertemu di Gunung Welirang.
Foto di samping saya ambil tepat di tugu yang berada di tempat tertinggi di Gunung Lawu ini. Terlihat ada beberapa teman dari kampus UNS sedang duduk dan bercengkerama dengan kami.
Foto ini diambil ketika puncak sedang diselimuti kabut, sehingga gambar tidak terlalu jelas (alasan…ngomong saja kalau HPnya jelek he…).
Foto-foto di atas diambil ketika kami menolong salah satu pendaki yang pingsan di puncak. Yang jadi pertanyaan bagi kami, mengapa teman-2 pendaki yang pingsan tersebut tidak bisa menggotong, padahal jumlah mereka 30 orang. Di antara 30 orang tersebut terdapat beberapa tim SAR atau lebih tepat dipanggil senior dari pendaki yang pingsan tersebut.
Sepertinya kita harus berpisah dulu ya karena foto-fotonya habis nih. Maklum pada waktu awal pendakian kami masih belum tertarik tentang fotografi. Setelah mengalami banyak pendakian sampai sekarang, sepertinya kami khususnya saya tertarik dengan fotografi. Semoga saja Ayah membeli kamera
Tidak ada komentar:
Posting Komentar